Rabu, 06 Juli 2011

PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA

KEMANDIRIAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA

Ø Pada dasarnya pembangunan masyarakat adalah perubahan sosial. Tapi dalam proses perubahan itu bukan sebatas pada taraf kehidupan tetapi juga perubahan peran negara dan masyarakat.
Ø Keberhasilan pembangunan masyarakat juga harus diukur dari sejauh mana pembangunan itu dapat menimbulkan kemauan kemampuan masyarakat untuk mendiri yaitu melestarikan dan mengembangkan hasil – hasil pembangunan.
Ø Di Indonesia peran negara sangat sentral dalam : merencanakan, melaksanakan bahkan mendanai perubahan. Rakyat adalah konsumen.
Ø Keuntungannya : pembangunan dapat cepat dan tepat waktu.
Ø Kelemahannya : bersifat instruktif, mematikan masyarakat dan aparat.
Ø Ketergantungan masyarakat (desa) dalam pembangunan merupakan akibat proses interaksi faktor : sosial, ekonomi, politik dan budaya yang mendasari peran negara menjadi dominan.
Ø Secara historis, dominasi negara di Indonesia diawali pada abad 19 melalui tanam paksa.

Ø Kebijakan ekonominya berubah, dari pertanian subsisten menjadi pengekspor hasil perkebunan.
Ø Kebijakan itu diperankan oleh negara mengingat belum muncul kekuatan kapitalis swasta pada paruh pertama abad 19.
Ø Peran itu menonjol dalam penyediaan modal, infrastruktur dan pemasaran.
Ø Paruh kedua abad 19 terjadi perubahan munculnya penyedia dana swasta. Negara berperan sebagai pelindung dan penyedia lahan.
Ø Awal abad 20 muncul kebijakan etis untuk menjawab masalah merosotnya ekonomi rakyat akibat tanam paksa melalui edugtie, irigatie dan kolonisatie.
Ø Pada masa ini kapitalisme masuk ke Indonesia bukan melalui industrialisasi tetapi melalui usaha perkebunan.
Ø Jenis kapitalisasi perkebunan memiliki perbedaan dengan kapitalisme industri di Eropa, Kapitalisme industri merupakan tandingan terhadap negara (feodalisme). Kapitalisme industri merupakan perubahan di bidang sosial, ekonomi     revolusi industri.
Ø Pada kapitalis perkebunan tetap menempatkan penguasaan tanah sebagai pijakannya dan upah buruh yang murah     diperlukan kerjasama dengan negara dan aparatnya.
Ø Dengan demikian kapitalisme perkebunan tidak berfungsi sebagai perubahan, bahkan muncul sebagai perpanjangan tangan bagi negara untuk devisa untuk perubahan negeri Belanda.
Ø Aliansi kapitalis perkebunan dan negara menimbulkan ciri yang khas dalam proses pembangunan:
·        Negara dan aparatnya menjadi sentralistis dan otoriter.
·        Muncul konflik antara pengusaha perkebunan dan petani akibat perebutan lahan.
·        Tidak terbentuknya golongan menengah yang berasal dari dalam (masyarakat).
·        Munculnya buruh tani sebagai kebalikan dari petani pemilik.
·        Kemunduran sosial, ekonomi, politik yang dimanifestasikan ke dalam sifat keparahan akan nasib dan ketergantungan pada kekuatan luar.
·        Muncul gerakan mesianisme, pemberontakan petani.
Ø Fungsi kepemimpinan desa berubah dari informal (pimpinan masyarakat) menjadi formal (perpanjangan tangan negara).

Ø Tidak munculnya kelas menengah pada masyarakat di bidang ekonomi disebabkan oleh dominasi kapitalis terhadap sektor ekspor dan infrastruktur pendukungnya (transportasi, bank, d.l.l) dan perdagangan dalam negeri dikuasai Cina yang mengeser peran wiraswasta pribumi.
Ø Pasca kolonial pembangunan (desa) belum menunjukkan banyak perubahan karakterya. Tetapi sentralistis dengan membanjiri desa dengan berbagai program dan entreepoint-nya adalah Kepala Desa.

·        Pertanyaannya adalah : Mengapa kemerdekaan politik belum dapat menghilangkan ciri sentralisme dalam pembangunan di Indonesia ?
·        Penjelasannya karena masyarakat Indonesia tidak memiliki kelas menegah yang diharapkan sebagai penggerak alternatif dalam pembangunan.

Ø Pernah dicoba untuk menumbuhkan kelas menengah melalui perdagangan impor karena tidak perlu modal dan teknologi canggih tapi gagal.
Ø Kegagalan itu mendorong negara dan aparatnya menjadi peran utama dalam modernisasi (sentralisasi) dan birokratis.
Ø Akibatnya:
·        Negara memerlukan dana besar.
·        Muncul kritik kepada birokrat jika terjadi kegagalan yang sering meluas menjadi ketergantungan politik.
·        Terbentuknya jaringan kronsme untuk menjamin kelancaran program.
Ø Sentralisasi pernah berhasil meningkatkan ekonomi rakyat tetapi mengabaikan aspek pembangunan sosial dan politik rakyat.

ó Oleh karena itu, diperlukan pembangunan masyarakat yang mandiri yaitu: adanya perimbangan kekuatan antara masyarakat dan negara dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial.

Ø Perlu juga perimbangan antara tujuan nasional dan tujuan lokal. Tanaman tebu (nasional/gula >< tanaman jagung).
Ø Jika kita setuju dengan konsep kemandirian tersebut, bagaimana melaksanakannya ?
1.    Perlu perubahan paradigma atau persepsi dari negara dan aparat yang memandang rakyat sebagai sumber energi menjadi sumber informasi (equal patnership).
2.    Perlu perubahan aparat dalam memaknai fungsi kekuasaan. Fungsi kekuasaan bukan hanya untuk mengatur tetapi juga membantu pemecahan masalah perubahan yang di luar jangkauan masyarakat.
3.    Menghilangkan sistem panutan karena meletakkan masyarakat subordinasi. Ini bukan aset kultur tetapi simbol keterbelakangan.
4.    Perlu kesadaran bahwa masyarakat Indonesia itu majemuk yang tidak dapat diseragamkan. Menghargai budaya lokal.
5.    Jangan memandang kelompok miskin sebagai tidak produktif. Mereka kaya dengan pengalaman dalam mengidentifikasi hambatan-hambatan tetapi tidak punya akses.
6.    Merubah sifat negara dari directive ke supportive.

Ø Pembangunan modal cetak biru (juklak, juknis) hanya untuk mencapai efisiensi pelaksanaan program dan bukan untuk menciptakan partisipasi rakyat. Karena itu sulit pula terciptanya self-sustaining development.
Ø Kelemahan model cetak biru mendorong timbulnya proses model yang berakar pada aspek dialogis

antara aparat dan rakyat. Proses model memberi ruang bagi perencanaan dari bawah.
Ø Implementasi proses model dilengkapi dengan pembentukan LKMD.
Ø Kelemahan LKMD:
1.    Keberadaannya tidak jelas. Apakah ia lembaga desa yang mandiri atau sebagai bagian dari pemerintahan desa?
2.    Tidak memiliki kewenangan pengawasan secara otonomi.
3.    Peran Kepala Desa sangat dominan.
Ø Model perencanaan bottom-up ternyata berimplikasi pada pengertian “up” yang dimaknai dengan adanya proses panjang ke tingkat atas sehingga kewenangan dari bawah menjadi semu.
Ø Akibatnya kepentingan rakyat sering tidak terakomodir.
Ø Pertanyaannya: bagaimana menserasikan kepentingan mikro (desa) atau kepentingan makro (nasional).
Ø Keserasian itu sangat bermakna pada masyarakat lokal dan ini merupakan syarat dasar bagi kemandirian rakyat dalam pembangunan.
Ø Munculnya LSM dapat berfungsi sebagai pengisi kekosongan akan kelas menengah dalam
masyarakat dengan peranannya sebagai pemikir pembangunan alternative dan mampu memobilisasi dana secara mandiri.
Ø Keberhasilan kerjasama antara negara dan LSM baru bisa berhasil jika negara dan aparatnya memahami LSM sebagai equal partnership.
Ø Kata kunci:
1.    Pembangunan desa yang mandiri memerlukan kelas menengah.
2.    LSM dapat mengisi kekosongan kelas menengah dalah masyarakat.
3.    Peran negara sangat penting tetapi tidak boleh overvalued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar